DIAHROSANTI.NET, Media Center San Agustin, Pontianak | Rabu 10 Juli 2024 – “Sam Nyian Jit ka Oi Hok Khin, Sam Nyit Jitka tet pian lansie” – tuturan makna yang populer di Sekura Sambas, khusus untuk menasehati anak-anak mereka dalam bekerja.
Bunyinya demikian: butuh tiga tahun belajar untuk rajin, tapi cukup tiga hari seseorang menjadi pemalas.
Tak ada jalan pintas untuk masuk dalam sebuah ‘kedalaman’ makna, tanpa melalui ‘kedangkalan’.
Dalam hal ini kedangkalan yang dimaksudkan yakni ‘keseharian’ yang ‘tersembunyi’.
Mulai dari bangun pagi, sarapan, bekerja. Yak ! maksudnya etos hidup.
Pepatah diatas diambil dari serapan bahasa Tionghua Hakka (khek) dimana khususnya orang ‘tua-tua’ di Sekura Sambas biasa menggunakan itu untuk mengingatkan anak-anaknya, termasuk saya, hehe.
Kilas Hakka
Bangsa Tionghua adalah bangsa yang besar, etnis Hakka merupakan salah satu cabang dari pohon besar bangsa Tionghua. (ada juga versi lainnya).
Nenek Moyang Hakka berasal dari tempat lahirnya peradaban Tionghua yaitu dari Lembah Sungai Kuning pada zaman dinasti Tang dan Sung.
Karena bencana alam dan perang, mereka berpindah ke Selatan dalam jumlah besar. Mula-mula mereka menetap didaerah pegunungan, di persimpangan Fujian Guandong dan Jiangxi.
Dari sana mereka menyebar ke luar negeri. Nama Hakka sendiri berasal dari julukan oleh orang Guantung, pada zaman dinasti Qing, terjadi pertempuran besar antara kelompok Hakka dan Guantung (ejaan Hakka).
Hak (artinya pendatang), Ka (artinya keluarga).
Menurut catatan, dia merupakan orang yang terpelajar di jaman itu. Seperti negara Indonesia, dulu di Kekaisaran Qing, ada ujian negara untuk menentukan strata hidup yang lebih baik. Oleh sebabnya sudah berupaya dan belajar beberapa kali, tetap dia gagal.
Namun ditengah keputusasaan, Lo Fong Pak, mendengar ada gunung emas di Borneo (sebutan Kalimantan di jaman itu).
Orang-orang Tionghua sebagian sudah pergi ke Borneo untuk mencari gunung emas. Akibatnya dia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya.
Bersama 100 kerabatnya, dari Guangzhou menuju ke Borneo, menuju Gunung Emas di Borneo.
Dalam sajak yang ditulis oleh Lo Fong Pak setelah dua tahun berada di Kalimantan, tentang Gunung Emas di Borneo.
Ada garis besar cerita tentang penggalan sajak itu menceritakan dia meninggalkan Gerbang Harimau untuk menuju ke Gerbang Naga.
Dalam mitologi Tingkok, harimau dan naga merupakan simbol dari kekuasaan.
Salah satu sumber yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk melengkapi benang merah keberadaan orang Tionghua di Kalimantan Barat yakni buku terjemahan dari Pastor Yeremias OFMCap yang ditulis oleh Dr. JJ. De Groot dan J. W Young.
Berdasarkan catatan penerjemah (Alrm Pastor Yeremias OFMCap) sebelum abad ini, hasil terbaik dari kebijakan kolonial tercapai yakni penetapan kekuasaan Belanda atas sekitar dua puluhan kerajaan Melayu Bagian Barat Borneo.
Semua pencapaian tersebut hampir tanpa pertumpahan darah.
Satu bagian besar wilayah ini sudah bertahun-tahun dibanjiri oleh orang-orang Cina yang sekarang akrab disebut dengan keturunan Tionghua.
Demikian juga diketahui, bahwa para Imigran yang rajin ini menempati tempat yang baru, dan mendirikan republik, terutama di daerah kerajaan Sambas, Membawah, Landak dan Pontianak yang saat itu disebut dengan ‘distrik-distrik Cina’ di bagian Utara-Barat Residensi.
Dari republik-republik atau kongsi-kongsi, hanya dari Lanfong (bahasa Hakka: Lo Fong Pak) di daerah Mandor dapat bertahan sesudah perang-perang berdarah 1854, kemudian diakhiri dengan pemerintahan yang berdaulat orang Tiongkok – Borneo (sebutan untuk Kalimantan waktu itu).
Dokumen-dokumen itu dimulai dengan satu daftar kronologis kepala-kepala kongsi, dengan satu gambaran penuh seperti cara Tiongkok kuno yang benar, setiap tahun dari republik ‘Lanfong’. Berikut darftarnya:
- Thaiko Lo Fong-phak; memerintah dari 1777 sampai meninggal di tahun 1795
- Thaiko Kong Meeuw -pak, dari 1795 sampai keberangkatan ke Cina, tahun 1799.
- Thaiko Khiet Si-pak, dari tahun 1799 sampai meninggal di tahun 1803.
- Thaiko Kong Meeuw – pak, untuk dua kalinya, dari tahun 1803 sampai meninggal 1811.
- Thaiko Sung Tshap-pak, dari 1811 sampai meninggal 1823.
- Kapthai Lio Thoi-ni, dari 1823 sampai meninggal 1837.
- Kapthai Ku Liuk, dari 1837 sampai 1842, waktu diminta berhenti dan berangkat ke Cina.
- Kapthai Tshia Akwi-fong, dari 1842 sampai meninggal di tahun berikut.
- Kapthai Yep Thin-fui, dari 1843 sampai 1845.
- Kapthai Liu Kon-syien, dari 1845 sampai 1848.
- Kapthau Liu Liong-kwon, dari 1876 sampai meninggal 1880.
- Kapthai Liu A-sinm untuk dua kalinya, dari 1880 sampai meninggal di bulan September 1884.
Demikianlah nama-nama yang pernah menjadi ketua dari Kongsi Lan-Fong Mandor Kalimantan Barat yang bermula dari tahun 1777 berjaya sampai 1884.
Strategi Lo Fong Pak
Lo Fong Pak memang dikenal sebagai guru, sastrawan dan praktisi beladiri. Gaungan cerita itu masih saya peroleh dari orang tua saya bahkan keluarga besar di Sekura, Sambas juga menuturkan demikian.
Namun cara dia mengaplikasikan ‘kelihai-an’-nya bukan dengan kekerasan.
Mulailah Lo Fong Pak belajar bahasa setempat, melakukan pemetaan, kemampuan negosiasi hingga membantu kesultanan Pontianak untuk membangun kerajaan mereka. Tak heran mengapa Pontianak juga memiliki tempat-tempat Tionghua yang saat ini masih bisa kita saksikan.
Manajemen Strategi Lo Fong Pak bukan dengan kekerasan, ia masuk melalui taktik-taktik sederhana dengan perencanaan strategi jangka panjang.
Strategi selalu bicara tentang pemetaan, melihat garis besar masalah secara keseluruhan, hingga lapisan dimensi rencana untuk mem- “back-up” rencana A yang gagal.
Detail-detail kecil eksekusi strategi itu dicapai dengan taktik-taktik kecil.
Lo Fong Pak masuk di Kalimantan Barat bukan dengan kekerasan, ia mewariskan kekayaan intelektual (politik, cara hidup, dan cara bertahan) dimana ia berada.
Cerita lanjutan dari Manajemen Strategi Lo Fong Pak akan berlanjut….
Selamat beraktivitas, Redaksi Diah Rosanti menunggu kisah inspirasi anda!
By. Samuel – Media Center San Agustin.
Sumber: Dokumen Keuskupan Agung Pontianak dan Buku Terjemahan Arm. Pastor Yeri OFMCap.