Pontianak, Diah Rosanti | Kamis, 28 November 2024 – Kepedulian terhadap masyarakat yang kurang mampu telah melahirkan lembaga pendidikan yang bertujuan untuk memastikan generasi muda semakin cemerlang, serta bisnis grafika yang telah memberikan layanan kepada banyak orang. Semua ini dilakukan demi kesejahteraan bersama.
Indonesia bukanlah pusat perdagangan internasional atau kekuatan militer besar selama Perang Dunia II. Meskipun Jepang menduduki Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945, tidak ada pertempuran besar yang terjadi di negara ini. Namun, perekonomian Indonesia, baik secara global maupun nasional, terganggu oleh kekalahan Jepang. Beberapa ahli berpendapat bahwa sebelum peristiwa Pearl Harbor, Amerika Serikat sudah bertekad untuk berperang melawan Jepang karena khawatir Jepang akan membatasi akses mereka terhadap sumber daya yang ada di Hindia Belanda.
Perang Dunia II jelas mengganggu perekonomian Indonesia, yang harus pulih dari pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan (1945-1949), serta pemulihan yang lambat dari Depresi tahun 1930-an. Selama periode 1949-1965, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat minim. Namun, antara tahun 1958-1965, pertumbuhan ekonomi menurun akibat ketidakstabilan politik dan kebijakan ekonomi yang tidak tepat.
Dampak Perang Dunia II dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan membuat kondisi masyarakat Indonesia semakin sulit, terutama bagi kaum miskin. Banyak anak-anak yang hidup dalam keadaan memprihatinkan, kurang perhatian, dan bahkan telanjang, banyak di antaranya adalah yatim piatu.
Kondisi ini menggugah hati para Bruder dari Kongregasi Budi Mulia, Santa Perawan Maria dari Lourdes, dan Perhimpunan Vincentius Jakarta. Mereka teringat akan sejarah pendirian kongregasi mereka. Kongregasi Budi Mulia didirikan oleh seorang imam bernama Stefanus Modestus Glorieux, yang lahir pada 3 Mei 1802, di Sint Denis, Belgia.
Setelah ditahbiskan, Glorieux ditempatkan di Paroki Ronse sebagai imam pembantu. Di sana, ia menyaksikan kemiskinan yang melanda masyarakat akibat perang Revolusi Prancis. Untuk mengatasi masalah ini, ia mendirikan Kongregasi Suster Belas Kasih untuk membantu kaum perempuan.
Pada 25 November 1830, Kongregasi Budi Mulia didirikan di Ronse, Belgia. Pada tahun 1844, ketika Belanda mengalami kemiskinan dan penyakit, kongregasi ini merasa terpanggil untuk memperluas pelayanan mereka ke sana. Banyak Bruder dikirim untuk membantu mereka yang menderita, hingga akhirnya pelayanan ini menjangkau Indonesia.
Dengan semangat pendiri yang berkomitmen untuk menyelamatkan orang-orang miskin dan memuliakan Allah, Kongregasi Budi Mulia, Santa Perawan Maria dari Lourdes, dan Perhimpunan Vincentius Jakarta sepakat untuk mendirikan Panti Asuhan Desa Putera pada 30 Juni 1947. Sejak saat itu, Desa Putera terus berkembang.
Seiring berjalannya waktu, Desa Putera mendirikan lembaga pendidikan, termasuk sekolah dasar yang terus berkembang. Pada tahun 1950, Desa Putera memulai usaha penjilidan buku yang diperluas oleh Bruder Basilides, BM. Beberapa mesin cetak diperoleh dari sumbangan perusahaan.
Awalnya, mesin-mesin ini digunakan oleh anak-anak panti asuhan untuk melatih keterampilan percetakan mereka dan mencari pendapatan bagi Panti Asuhan. Bruder Corsini, BM, dan Bruder Basilides, BM, mengajarkan keterampilan ini kepada 12 anak panti asuhan. Pada tahun 1968, Bruder Eulogus, BM, dikirim dari Belanda ke Desa Putera dengan membawa mesin cetak. Dua tahun kemudian, pada tahun 1970, Sekolah Menengah Kejuruan Grafika Desa Putera dibuka.
Kerja sama dengan Jerman dan Belanda, terutama dalam hal mesin cetak, sangat membantu perkembangan Sekolah Teknik Menengah Grafika. Instruktur dan karyawan diajarkan semangat kerja, disiplin, dan manajemen yang baik untuk mendukung perkembangan SMK Grafika Desa Putera.
Desa Putera mencapai tonggak sejarah dalam dunia percetakan dengan dibukanya Graphic Training Center (GTC) pada tahun 1993. Hingga kini, SMK Grafika Desa Putera menjadi salah satu sekolah favorit di Jakarta dan Indonesia.
PT Grafilin Desa Putera, yang awalnya merupakan unit praktikum percetakan SMK Grafika Desa Putera, kini telah berkembang menjadi perusahaan. Awalnya, unit ini hanya digunakan untuk pelatihan siswa dalam praktik kegrafikaan. Namun, seiring waktu, unit ini mulai menerima pesanan cetakan dari berbagai lembaga dan individu.
Pendapatan dari pesanan cetakan digunakan untuk mendukung biaya praktikum siswa, yang sebagian besar adalah anak-anak Panti Asuhan Desa Putera, serta untuk perawatan mesin cetak yang diperoleh dari sumbangan luar negeri. Selain itu, pendapatan ini juga digunakan untuk membiayai tenaga pendidik dan instruktur.
Seiring perkembangan zaman dan regulasi, unit ini dituntut untuk semakin profesional dalam bisnis. Peraturan perpajakan yang semakin baik dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak mendukung perubahan ini.
Sebagai hasilnya, unit praktikum percetakan SMK Grafika Desa Putera berubah menjadi perusahaan pada 15 April 2016 dengan nama PT Grafilin Desa Putera. Meskipun telah berbadan hukum perusahaan, percetakan ini tetap berfungsi sebagai sarana praktikum bagi siswa SMK Grafika Desa Putera.
Saat ini, PT Grafilin Desa Putera terus menjalankan usaha di bidang percetakan, termasuk pencetakan buku, majalah, brosur, dan berbagai produk cetakan lainnya. Jasa ini didukung oleh teknologi percetakan modern, mulai dari proses Pre Press hingga Post Press, serta layanan print on demand.
Tulisan: Felicia Permata Hanggu
Editor: Julio Ronaldi (Diah Rosanti)