Catatan Seorang Wanita Karier: Antara Pagi Produktif dan Malam Refleksi. Judulnya panjang, kayak to-do list aku tiap Senin — banyak, seru, dan kadang bikin ngos-ngosan. Ini bukan manifesto superwoman, cuma curhatan ringan yang mungkin cocok jadi teman kopi pagimu atau temen nangis remek-remek malam minggu. Siap? Tarik napas dulu, kita mulai dari pagi yang paling aku takutin sekaligus aku rindukan.
Pagi: alarm, rutinitas, dan drama selimut
Pagi hari buatku itu semacam pertandingan kecil antara keinginan tetap di kasur dan rasa bersalah kalau telat. Aku biasanya bangun jam 5:30, walau sesekali kalah lawan snooze sampai jam 6:30. Terus ritual kopi — bukan cuma kopi, tapi kopi sambil manggung di grup chat kantor. Ada yang lucu: aku selalu nulis tiga prioritas hari itu di notes, supaya nggak melayang-layang kayak asap rokok. Kebiasaan kecil ini bikin otak nggak panik, dan entah kenapa bikin aku merasa pemenang walau belum mandi.
Setengah serius: cara aku tetap produktif tanpa jadi robot
Ada mitos yang bilang karier harus mengkonsumsi hidupmu 24/7. Aku nggak setuju. Maksudnya, kerja keras iya, tapi kalau jadi robot itu nggak keren. Aku pakai teknik blok waktu: pagi untuk tugas yang butuh konsentrasi (presentasi, menulis), siang buat meeting dan koordinasi, sore untuk review dan nge-wrap. Di sela-sela itu aku izin leyeh-leyeh 10 menit, scroll feed IG, atau sekedar nyium aroma sabun baru — hal remeh yang bikin mood naik. Produktif bukan soal berapa jam kamu kerja nonstop, tapi seberapa kerja fokusmu waktu itu.
Meeting marathon dan seni bilang ‘tidak’ (yang masih belajar)
Kalau ada satu hal yang paling menguras energi di kantor: meeting. Kadang aku ketawa sendiri, “ini meeting buat bahas meeting apa?” Belajar bilang ‘tidak’ penting banget. Dulu aku sering bilang iya buat semua, takut dianggap nggak tim. Sekarang aku lebih selektif. Kalau topiknya nggak relevan dengan deliverable-ku, aku minta ringkasan atau menit meeting aja. Tetap sopan, tetap profesional, tapi waktu itu hakku. Ini bagian dari self-care kerjaan, biar nggak burnout sebelum umur 30-an atau 40-an.
Sore: pulang, dekompres, dan rekalibrasi hati
Pulang itu ibarat restart. Aku suka dengar podcast random atau lagu-lagu 2000-an biar moodnya nostalgic. Sampai rumah, ritualnya sederhana: ganti baju, masak sesuatu yang nggak ribet (tapi tetap berasa fancy kalau dituangkan di piring yang cantik), dan ngobrol sama teman serumah atau keluarga. Ini waktuku untuk ngisi ulang, bukan untuk mikirin inbox yang belum dibaca. Biar besok bisa bangun lagi dan nggak ngambul karena setumpuk email.
Malem: refleksi, jurnal, dan kata-kata manis ke diri sendiri
Malam adalah waktu paling jujur. Setelah semua sudah dikerjakan, aku duduk dengan jurnal kecil; mencatat wins hari itu — sekecil apapun — dan juga hal yang mau diperbaiki. Kadang aku nulis: “Hari ini aku berhasil menolak tambahan kerja. Good job!” Atau: “Besok harus lebih sabar waktu presentasi.” Menulis itu kayak ngobrol sama sahabat yang nggak nge-judge. Dalam jurnal, aku juga kasih reminder motivasi: kerja keras itu penting, tapi istirahat itu investasi juga.
Random thought: jangan terlalu keras sama diri sendiri, sis
Sebagai wanita karier aku sering dapat tekanan: harus cantik, harus pintar, harus cepat naik jabatan. Capek banget kan? Aku memilih definisiku sendiri tentang sukses. Kadang itu berarti dapat promosi, kadang itu berarti bisa tidur nyenyak selama akhir pekan tanpa ngecek email. Kalau kamu lagi ngerasa nggak cukup, ingat: setiap orang punya ritmenya masing-masing. Bukan kompetisi balapan, ini perjalanan. Dan seru kalau kita bisa bantu teman di samping jalan.
Oh iya, aku juga sering nyari inspirasi dari blog orang lain — kadang tulisan personal yang sederhana justru paling menyentuh. Kalau mau baca sumber motivasi lainnya, pernah ketemu beberapa tulisan menarik di diahrosanti yang bikin aku mikir ulang soal work-life balance dengan cara yang hangat dan lucu.
Penutup: besok lagi kita mulai dari pagi lagi
Jadi begitulah, hidupku antara pagi produktif dan malam refleksi. Ada hari-hari yang mulus, ada hari-hari yang kayak drama sinetron. Tapi aku belajar: jadi wanita karier itu bukan soal sempurna, tapi soal konsisten balik lagi, ngumpulin tenaga, dan terus coba. Kalau kamu juga lagi bergulat dengan rutinitas, ingat: satu langkah kecil itu tetap langkah. Sampai jumpa di catatan selanjutnya — kalau mood dan kopi mendukung, aku akan cerita lagi. Salam dari meja kerja yang sering berantakan tapi penuh cerita.