Curhat Karier dan Kopi: Refleksi Seorang Wanita Tentang Ambisi

Pagi ini aku mulai hari dengan ritual yang selalu sama: menyeduh kopi, mengecek kalender, lalu duduk di dekat jendela sambil menulis daftar kecil tentang apa yang ingin selesai hari itu. Kadang daftar itu berisi tugas-tugas praktis, kadang berisi mimpi-mimpi besar yang terasa jauh. Sambal menyeruput kopi, aku sering terpikir tentang bagaimana ambisi dan kehidupan sehari-hari saling bertaut. Sebagai seorang wanita yang berkarier, aku menemukan bahwa jalur yang kupilih tidak pernah lurus—ada banyak belokan, jeda, dan kadang aroma kopi yang menenangkan.

Rutinitas Pagi: Kopi, Kalender, dan Kenangan Pertama

Waktu pertama kali aku kerja setelah lulus, aku selalu bangun jam 5 untuk mengejar produktivitas. Kopi hitam jadi sahabat setia. Ada satu momen yang selalu terngiang: aku duduk di meja kantor, baru saja menyelesaikan proyek besar, tapi bukan euforia yang terasa—melainkan lelah yang menumpuk. Di situ aku mulai bertanya, apakah ambisi itu harus mengorbankan kebahagiaan kecil seperti tidur cukup atau mengobrol santai dengan teman?

Aku ingat membaca blog seorang teman yang juga menulis tentang keseimbangan hidup; linknya sering aku buka lagi ketika butuh inspirasi, misalnya tulisan di diahrosanti. Membaca pengalaman orang lain membuatku merasa tidak sendirian. Dari situ aku mulai merapikan prioritas: pekerjaan penting, waktu untuk diri, dan waktu untuk orang yang kusayangi. Ambisi tidak harus jadi pecut tanpa henti—kadang ia bisa lembut, seperti aroma kopi yang perlahan menghangatkan pagi.

Mengapa Ambisi Kadang Terasa Berat?

Pernah nggak kamu merasa ambisi itu seperti membawa tas berat saat berjalan menaiki tangga yang licin? Aku sering. Ada ekspektasi dari keluarga, dari lingkungan kerja, dan juga dari diriku sendiri. Ketika aku menerima tanggung jawab baru di kantor, ada kebahagiaan tapi juga rasa bersalah karena waktu untuk anak atau pasangan jadi berkurang. Dan ketika aku memilih untuk menolak tawaran tertentu demi kesehatan mental, ada suara kecil yang bertanya apakah aku sudah “cukup berani”.

Di sinilah aku belajar tentang batasan. Menetapkan batas bukan berarti menyerah; itu berarti memilih bagaimana ambisi itu dipelihara agar tidak jadi racun. Aku mulai menulis batasan dalam bentuk konkret: tidak membuka email kerja setelah jam 8 malam, mengambil cuti ketika tubuh memanggil istirahat, dan mengatakan tidak dengan sopan jika tugas tambahan benar-benar akan merusak keseimbangan hidupku.

Ngobrol Sambil Nyeruput: Curhat Malam Minggu

Malem Minggu, aku suka menyendiri di teras dengan segelas kopi susu. Di sana aku sering mengobrol dengan sahabat lewat telepon—curhat, tawa, dan juga saling menyalahkan pilihan karier masing-masing. Salah satu sahabatku memilih kerja freelance karena ingin fleksibilitas, yang lain mengejar jenjang karier di perusahaan besar. Dari obrolan itu, aku sadar tak ada satu jalan yang benar. Pilihan adalah soal konteks hidup: tanggung jawab, nilai, dan kebahagiaan yang kita cari.

Opini pribadiku sederhana: sukses itu bukan cuma soal title di LinkedIn atau gaji, tapi juga tentang sejauh mana kita bisa bertahan menjadi diri sendiri sambil mengejar tujuan. Ambisi yang sehat membuat kita berkembang, bukan membuat kita kehilangan arah. Aku percaya, sebagai wanita, kita berhak memiliki ambisi yang besar tanpa harus menelan bulat norma yang membatasi. Kita bisa ambil posisi yang kita mau, tapi juga boleh memilih untuk mundur sejenak saat perlu.

Penutup: Ambisi yang Manis, Seperti Kopi yang Tak Terlalu Pahit

Di akhir hari, aku menutup laptop dengan perasaan campur aduk: lega karena pekerjaan selesai, khawatir tentang tugas esok, tapi juga lega karena memberi waktu untuk diriku. Ambisi tetap ada, tapi kini aku merawatnya seperti merawat tanaman: sesekali disiram, diberi pupuk, dan dibiarkan bernafas. Kopi masih menemani di meja, sebagai saksi perjalanan kecil ini.

Kalau kamu tanya nasihat dari pengalaman imajiner dan nyata yang kupunya: jangan takut mengejar, tapi jangan pula takut berhenti sejenak. Tuliskan apa yang kamu mau, ubah ketika perlu, dan jangan lupa memberi ruang untuk hal-hal sederhana yang membuatmu bahagia—seperti secangkir kopi di pagi hujan dan percakapan panjang dengan seseorang yang mengerti. Ambisi boleh besar; kebahagiaan jangan dilupakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *