Jam alarm berbunyi, tapi rasanya bukan alarm yang bikin saya bangun — lebih ke rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi hari ini. Ada aroma kopi yang samar dari dapur, handuk masih hangat di leher, dan layar ponsel penuh notifikasi yang saya tahan untuk tidak langsung cek. Dulu saya biasa bangun dengan daftar tugas yang panjang, sekarang daftar itu masih ada, hanya kebiasaan saya menambahkan satu pertanyaan kecil: apakah ini berarti?
Saya menuang kopi, mendengar suara tetesan air dari French press seperti suara latar yang menenangkan. Di sela hiruk-pikuk kota, ada momen hening lima menit: cangkir hangat di tangan, jendela sedikit dibuka, udara pagi masuk dengan bau hujan semalam. Terkadang saya menutup mata, menghirup, dan memutuskan untuk memulai dari hal yang membuat saya merasa paling hidup — entah itu menulis satu paragraf untuk blog, mengatur meeting, atau sekadar merapikan meja kerja sampai rapi seperti foto Instagram (yang sebenarnya bikin saya tertawa sendiri).
Karier selalu terlihat seperti tangga panjang dengan lampu-lampu kecil di setiap anak tangga — menggoda dan menantang. Tapi belakangan, saya mulai mempertanyakan apakah saya mengejar lampu atau pemandangan di puncak tangga itu. Kadang saya merasa bangga ketika mendapat proyek baru atau presentasi lancar; di lain waktu, ada bagian dari diri saya yang merindukan makna yang lebih sederhana: obrolan santai dengan tim, waktu berkualitas di akhir pekan, atau kemampuan bilang “tidak” tanpa rasa bersalah.
Saya menulis hal-hal ini sambil menyesap kopi kedua. Ada hari ketika kopi terasa pahit, entah karena kafein atau karena ada email yang membuat hati sedikit menegang. Lalu ada hari ketika gurat manis pada bibir cangkir mengingatkan saya bahwa tidak semua yang menantang harus membuat kita kehilangan rasa. Saya sering mampir ke blog teman atau membaca cerita-cerita pendek untuk menemukan perspektif baru — salah satunya di diahrosanti yang selalu membuat saya merasa didengar, meski hanya lewat kata-kata.
Di meja kerja, kopi adalah mitra. Keyboard yang berdetak seperti hujan kecil, notifikasi yang muncul terkadang seperti petir mendadak. Saya pernah menumpahkan kopi di laptop—reaksi pertama? Tawa kenceng, karena saya tahu itu salah saya sendiri; reaksi kedua? Panik kecil. Untungnya tidak separah itu. Momen seperti ini mengingatkan saya bahwa hidup kerja bukan ajang kompetisi tanpa jeda; ada ruang untuk salah, untuk belajar, untuk menertawakan diri.
Saya percaya ritual kecil bisa menyelamatkan hari. Menyeduh kopi, menulis tiga hal yang saya syukuri, dan membuat rencana kecil 60 menit tanpa gangguan — itu formula sederhana yang sering saya pakai. Rasanya aneh kalau harus terus produktif 24/7; tubuh dan pikiran juga butuh rehat. Ketika deadline menekan, saya belajar memprioritaskan: mana tugas yang benar-benar penting, mana yang bisa ditunda, dan siapa yang bisa saya andalkan untuk berbagi beban.
Sore hari, lampu ruang kerja berubah hangat. Saya menutup laptop perlahan, bukan karena semua selesai, tapi karena tubuh saya memberi sinyal lelah. Kadang saya melipat selimut di sofa, menonton serial ringan, atau berjalan sebentar di taman belakang gedung untuk melihat matahari turun. Ada kebahagiaan sederhana ketika bisa tertawa bareng teman kerja tentang kesalahan lucu hari itu, atau ketika keluarga memberi pesan singkat, “kamu oke?”—sebuah pertanyaan kecil yang terasa seperti pelukan digital.
Sekarang saya belajar bahwa karier dan kehidupan pribadi bukan dua benda yang harus selalu seimbang seperti neraca sempurna. Mereka seperti dua cangkir kopi di meja: berbeda rasa, tapi tetap saling melengkapi. Ada hari ketika satu cangkir penuh dan yang lain setengah, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, saya terus bertanya: apa yang membuat saya merasa berarti hari ini? Jawabannya kadang sederhana — menyelesaikan tugas, membantu rekan, menulis satu paragraf yang jujur.
Di perjalanan pulang, saya sering menulis catatan kecil di ponsel: ide untuk esok, rencana mengganti biji kopi, atau daftar lagu yang bikin mood naik. Kadang saya menaruh catatan itu di laci, lupa, dan menemukan kembali beberapa minggu kemudian dengan perasaan hangat—sebuah pengingat bahwa hidup tidak harus sempurna untuk terasa bermakna.
Jadi, jika kamu juga sedang mengejar makna di antara rapat, deadline, dan cangkir kopi kedua, tahu lah ini: kamu tidak sendiri. Kita sedang belajar, salah, tertawa, dan terus mencoba. Buat saya, makna itu muncul dari keberanian berkata jujur pada diri sendiri — tentang lelah, ingin, dan apa yang benar-benar penting. Dan ya, kadang jawabannya cuma mau kopi lagi.
Curhat Kantor, Kopi, dan Mimpi: Perjalanan Karier Seorang Wanita Awal yang ternyata berisik Waktu pertama…
Aku pernah berpikir hidup itu sederhana: bangun, sarapan, kerja, tidur. Ternyata tidak. Di antara jadwal…
Menyusun Pagi: Ritual, Realita, dan Secangkir Kopi Pagi saya bukanlah sinetron pagi yang rapi. Biasanya…
Kopi, deadline, dan hati — tiga kata yang terdengar sederhana tapi bisa jadi riuh dalam…
Kalau ngomongin game online sekarang, salah satu yang lagi rame banget dibicarain anak-anak genz adalah…
Pagi ini aku mulai hari dengan ritual yang selalu sama: menyeduh kopi, mengecek kalender, lalu…