Pagi ini aku bangun dengan bunyi alarm yang terasa seperti sindiran halus: “Kamu masih ingin mengejar mimpi, kan?” Aku menatap plafon sebentar, lalu berguling menuju dapur. Ritual pertama: kopi, dua sendok gula, dan sedikit penyesalan karena belum tidur cukup. Saat menyeruput hangatnya, aku sempat menatap kaca di belakang kompor—mata sedikit sembab, rambut agak berantakan—dan berpikir, hari ini akan penuh meeting, tapi aku tetap harus terlihat rapi. Lucunya, rapi untuk siapa: diri sendiri atau orang lain?
Pagi yang berantakan: alarm, kopi, dan touch-up
Aku bukan tipe yang bangun flawless. Biasanya diawali dengan perang sunat antara rasa malas dan wardrobe crisis. Lipstik favoritku menempel sedikit di cangkir kopi, blazer yang kusayangi masih bau laundry seminggu lalu, tapi kucek kembali wajah di kaca—foundation tipis, concealer untuk mata panda, dan sedikit highlighter supaya wajah nggak kaku waktu lampu Zoom menyala. Ada kebahagiaan kecil setiap kali aku menyelesaikan touch-up pagi: seolah mengatakan pada diri sendiri, “Kita siap.”
Sambil menyisir rambut, aku mengecek jadwal. Lima meeting hari ini, satu presentasi internal, dan review KPI yang bikin jantung sedikit berdegup. Notifikasi Slack berdentang seperti kodok yang tidak tahu jam kerja. Aku bernafas dalam-dalam, bilang ke cermin, “Kita jalani aja, satu per satu.” Kadang obrolan kecil dengan diri sendiri ini yang menyelamatkan mood sebelum pintu rumah tertutup.
Meeting maraton: bertahan sambil tetap terlihat profesional?
Meeting pagi biasanya dimulai dengan obrolan ringan—siapa yang baru membeli tanaman, siapa yang kucingnya lucu—lalu naik ke topik berat: target, budget, strategi. Aku masih sering ketawa kering ketika seseorang mengatakan “kita brainstorming” padahal yang terjadi adalah presentasi 45 menit tanpa jeda. Di sinilah skill multitasking diuji: menyimak, mencatat, mempersiapkan jawaban, sambil sesekali mengangkat alis supaya tampak engaged.
Ada momen lucu kemarin: aku tengah menjelaskan hasil riset, tiba-tiba anak kecil di rumah menelepon lewat speaker karena salah tekan tombol. Seluruh tim mendengar suara “Mau main, Ma?” dan sebuah adegan yang membuat semua orang tersenyum. Tiba-tiba meeting yang tegang jadi hangat. Momen sederhana itu mengingatkanku bahwa di balik profesionalisme, kita semua manusia dengan kisah kecil masing-masing.
Di sela-sela itu aku sering cek pesan singkat dari teman yang lagi berjuang juga. Katanya, “Kamu masih semangat?” Aku ketik jawaban sambil mengusap lipstik yang sedikit memudar. Jawabanku selalu sama: “Masih. Karena mimpi itu nggak mau nunggu.” Di tengah kesibukan, kata-kata kecil itu menjadi penguat yang sederhana tapi nyata.
Di antara deadline dan mimpi: mengapa kita masih bertahan?
Kadang aku bertanya pada diri sendiri: untuk siapa semua ini? Gaji, posisi, title—semuanya penting tapi bukan alasan utama. Aku bekerja karena ada hal yang ingin kubangun: stabilitas, kesempatan untuk mengeksplor, dan tentu saja, agar suatu hari aku bisa bilang pada anakku, “Ibu pernah berjuang seperti ini.” Mimpi bukan sekadar kata besar; ia adalah hal kecil yang terulang sehari-hari—membayar tagihan, membeli buku, menabung untuk perjalanan impian.
Ada hari ketika semangat turun sampai ke lutut. Aku duduk di balkon, menonton langit sore, dan mengingat kembali alasan pertama kali aku memilih jalur ini. Kadang motivasi besar datang dari hal paling sederhana: sebuah pujian dari klien, email yang mengatakan “terima kasih,” atau hasil kerja yang membuat meja rapiku sedikit rapi lagi. Itu sudah cukup untuk menghidupkan kembali api.
Di tengah perjalanan ini aku menemukan komunitas yang menguatkan—teman-teman kerja yang jadi pendengar, mentor yang memberi arah, dan blog-blog inspiratif yang membantu merangkai kata. Salah satunya yang sering kubaca adalah diahrosanti, tempat aku menyerap cerita-cerita ringan yang memberi energi baru di sore hari.
Rahasia kecil: self-care bukan luxury
Aku belajar bahwa produktivitas yang berkelanjutan bukan soal kerja tanpa henti. Self-care itu penting: tidur cukup, makan yang agak bergizi, dan memberi jeda buat skincare di malam hari. Malam tadi aku mencoba mask sheet baru, sambil menonton serial favorit—tiga puluh menit keheningan yang terasa seperti liburan mini. Esoknya aku bangun dengan mood lebih baik dan presentasi yang terasa lebih mudah dibawa.
Akhirnya, antara meeting, makeup, dan mimpi, aku menemukan ritme yang mampu membuat hari-hari terasa lebih manusiawi. Tidak perlu sempurna, cukup konsisten. Bila hari ini terasa berat, boleh berhenti sejenak, tarik napas, dan ingat: kita sedang berjalan menuju sesuatu yang layak diperjuangkan. Dan kalau perlu, tepuk pipi sendiri sedikit—bukan untuk narsis, tapi untuk mengingatkan bahwa kita masih ada di sini, berusaha, dan pantas mendapat pujian kecil setiap kali berhasil melewati hari.