Kopi panas di tangan, laptop agak berdecit, dan list tugas yang tak pernah habis. Begitulah suasana pagi saya di kantor—biasa saja tapi kadang terasa berat. Kita semua pernah di titik di mana semangat kerja perlu disuntik motivasi, tapi kita juga tidak mau kehilangan diri sendiri demi angka dan deadline. Di tulisan ini saya akan curhat sedikit, berbagi trik sederhana, dan mungkin bikin kamu ngerasa: “Oh iya, aku juga gitu.” Santai, sambil ngopi lagi yuk.
Langkah pertama buat jaga semangat adalah kenal diri. Apa yang bikin kamu capek? Meeting tanpa akhir? Tumpukan email yang menunggu? Atau ekspektasi diri sendiri yang terlalu tinggi? Catat. Sounds formal, tapi percayalah, menuliskan hal-hal kecil itu membantu kamu lihat pola.
Contoh gampang: setiap kali ada meeting jam 8 pagi, kamu merasa resah sepanjang malam. Itu sinyal. Atau setiap kali kamu bilang “iya” padahal hati nggak setuju, energi tersedot. Kenali pemicu, lalu coba atur ulang. Bukan berarti kabur dari tanggung jawab, tapi tanggung jawab juga harus seimbang dengan kesehatan mental. Set limits, belajar bilang tidak—dengan sopan, tentu.
Ini bagian favorit saya: trik kecil yang nggak butuh biaya, tapi efeknya nyata. Misalnya, ritual pagi 10 menit: stretch sederhana, daftar tiga hal yang mau diselesaikan hari ini, dan minum air putih. Iya, cukup tiga hal. Biar fokus, bukan kewalahan.
Lalu, buat jeda micro-break setiap 90 menit. Jalan ke pantry, ambil cemilan, atau lihat langit sebentar. Mata senang. Otak juga senang. Oh, dan jangan remehkan musik. Playlist kerja yang pas bisa jadi mood-booster instan. Kadang saya sengaja putar lagu lawas yang bikin nostalgia—langsung semangat!
Kalau lagi benar-benar bad mood, kasih izin pada diri sendiri untuk ngambek. Bukan berarti meledak di meeting, tapi izinkan hati untuk merasa kesal 10 menit. Menangis juga oke. Menangis itu ngeselin, tapi kadang perlu. Setelah itu? Tarik napas, basuh muka, dan lanjut lagi. Kita bukan robot plastik yang langsung reset.
Humor juga senjata ampuh. Bercanda dengan teman kantor tentang laporan yang “bernyawa” atau memberi julukan lucu untuk spreadsheet bisa bikin beban terasa lebih ringan. Tertawa singkat tapi tulus seringkali lebih menyegarkan daripada secangkir kopi—lagi-lagi, hampir selalu dikombinasi dengan kopi.
Satu hal yang sering terlupakan: kita punya kehidupan di luar job title. Di luar “Manajer HR”, “Staff Marketing”, atau “Project Lead”, kita tetap manusia dengan hobi, mimpi, dan cerita. Sisihkan waktu untuk hal-hal yang memberi energi: yoga, menulis, berkebun, atau sekadar nonton drama favorit tiap Minggu sore.
Memelihara bagian dari diri yang non-kerja itu penting. Ketika kita jenuh kerja, bagian itu jadi tempat pulang. Ini juga yang membuat kita tidak kehilangan diri ketika kerja mulai mengonsumsi semua waktu.
Semangat kerja bukan lampu neon yang harus menyala terus menerus. Kadang redup, kadang terang—dan itu normal. Yang penting adalah tahu kapan perlu recharge dan kapan perlu push. Kalau kamu butuh inspirasi tulisan ringan atau cerita seputar keseimbangan kerja-hidup, pernah juga saya tulis sesuatu di blog pribadi diahrosanti—boleh mampir kalau mau. Intinya, jaga semangatmu tanpa harus kehilangan diri. Kita kerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja. Santai, kita jalani sama-sama.
Curhat Kantor, Kopi, dan Mimpi: Perjalanan Karier Seorang Wanita Awal yang ternyata berisik Waktu pertama…
Aku pernah berpikir hidup itu sederhana: bangun, sarapan, kerja, tidur. Ternyata tidak. Di antara jadwal…
Menyusun Pagi: Ritual, Realita, dan Secangkir Kopi Pagi saya bukanlah sinetron pagi yang rapi. Biasanya…
Kopi, deadline, dan hati — tiga kata yang terdengar sederhana tapi bisa jadi riuh dalam…
Pagi yang Sadar (dan Sedikit Kebingungan) Jam alarm berbunyi, tapi rasanya bukan alarm yang bikin…
Kalau ngomongin game online sekarang, salah satu yang lagi rame banget dibicarain anak-anak genz adalah…