Pagi hari di kantor selalu terasa seperti adegan berulang dalam film yang saya tonton sendiri: kopi panas, tas yang agak berat, dan daftar tugas yang tampak tak pernah berkurang. Saya sering tertawa kecil melihat betapa rapi jadwal yang saya buat di malam sebelumnya, sementara kenyataan di kantor punya banyak cameo kejutan. Di sinilah saya menulis — bukan untuk pamer, tapi untuk merapikan pikiran yang terkadang berantakan. Sebagai perempuan yang sedang berusaha menyeimbangkan karier, kehidupan pribadi, dan rasa ingin tahu yang tak padam, setiap hari terasa seperti ujian kecil. Kadang saya menang, kadang saya pulang sambil menenangkan hati yang galau.
Rutinitas Pagi: Ritual yang Menyelamatkan Saya
Pagi saya dimulai dengan ritual kecil: menyapu meja, menyusun sticky notes, lalu membuka email sambil menyeruput kopi. Ritual itu sederhana tapi memberi saya rasa punya kontrol. Ada hari di mana meeting bertubi-tubi, ada hari di mana ide-ide kreatif datang tanpa permisi — yang penting saya sudah memulai hari dengan satu hal yang konsisten. Saya pernah coba metode produktivitas yang viral, tapi ujung-ujungnya kembali ke kebiasaan kecil yang membuat saya merasa teratur.
Saya pernah mengalami minggu di mana semuanya bertepatan: deadline proyek besar, tanggung jawab mentoring, dan presentasi untuk promosi. Di tengah kepanikan itu, saya ingat saran dari seorang teman bloger di diahrosanti tentang pentingnya menulis prioritas harian. Hal sederhana itu membantu saya memilih mana yang harus diselesaikan hari itu dan mana yang bisa ditunda. Menyusun prioritas ternyata lebih menenangkan daripada menambah to-do list tanpa aturan.
Mengapa Ambisi Sering Bikin Galau?
Ada kalanya ambisi terasa seperti pendorong dan sekaligus pemberat. Saya ingin naik level, ingin diakui, ingin punya ruangan sendiri yang bisa saya hias dengan tanaman kecil. Namun, setiap langkah maju selalu ada pengorbanan: waktu untuk diri sendiri berkurang, hubungan menjadi renggang, dan kadang rasa bersalah muncul karena tidak bisa jadi orang yang sempurna di semua peran. Pertanyaan yang sering saya tanyakan sendiri: apakah ambisi ini benar-benar milik saya atau hanya cermin ekspektasi orang lain?
Pernah suatu kali saya hampir menerima tawaran kerja dengan gaji lebih tinggi namun harus pindah kota. Di satu sisi, ini kesempatan yang saya idamkan. Di sisi lain, ada rasa takut kehilangan rutinitas yang nyaman dan hubungan yang baru mulai stabil. Malam-malam itu saya menulis di buku catatan sampai larut, menimbang pro dan kontra seperti pedagang yang memilih barang. Keputusan akhirnya bukan hanya soal ambisi, tapi juga soal apa yang membuat saya bahagia hari ke hari.
Ngobrol Santai soal Mood di Kantor
Di sela-sela rapat formal, kadang saya dan beberapa teman perempuan duduk di pantry dan ngobrol soal mood. Kami tukar cerita tentang bos yang perfeksionis, klien yang cerewet, dan strategi bertahan hidup saat hari terasa berat. Ternyata, humor kecil seperti meme kantor atau pesan singkat “kamu kuat” bisa jadi obat paling manjur. Saya sering bilang, jangan remehkan kekuatan curhat sebentar — itu seperti memberi saluran pelepasan untuk emosi yang menumpuk.
Saya juga punya kebiasaan menyusun playlist “mood booster” yang selalu ada di headphone. Lagu-lagu itu jadi soundtrack kecil saat menyelesaikan laporan atau menunggu feedback. Lagu bisa mengubah tempo kerja saya dari grogi menjadi bergairah, dari murung menjadi berkonsentrasi. Hal-hal kecil inilah yang membantu menjaga keseimbangan antara ambisi dan kesehatan mental.
Kesimpulan: Memilih dengan Hati, Beraksi dengan Kepala
Menjadi wanita karier di era serba cepat ini memang menuntut banyak peran. Saya percaya kita tidak harus sempurna, cukup jujur pada diri sendiri. Ambisi itu sah, galau itu manusiawi. Yang penting, kita punya cara agar keduanya tidak saling menghancurkan: menetapkan batas, menulis prioritas, dan memberi ruang untuk menikmati hal-hal sederhana. Kadang keputusan besar datang dari percakapan santai di pantry atau catatan kecil di pagi hari.
Di akhir hari, ketika lampu kantor dimatikan dan saya melangkah pulang, saya selalu mencoba menanyakan satu hal: hari ini apa yang membuat saya tersenyum? Jawaban itu lebih berharga daripada sederet pencapaian di CV. Karena pada akhirnya, ambisi dan hati harus sejalan supaya hidup terasa lebih ringan dan lebih bermakna. Saya menulis ini sebagai pengingat untuk diri sendiri dan siapa pun yang sedang menyeimbangkan ambisi dan perasaan yang galau — kamu tidak sendirian.