Antara Pilihan Kerja dan Hati: Catatan Seorang Wanita Biasa

Antara Pilihan Kerja dan Hati: Catatan Seorang Wanita Biasa

Pagi yang Bersuara: Rutinitas dan Kebimbangan

Pagi ini aku bangun dengan aroma kopi yang setengah gosong karena terlalu lama menunggu di dapur sambil menimbang-nimbang email masuk. Di satu sisi meja rapi, daftar tugas yang harus diselesaikan bulan ini tertera tegas. Di sisi lain, ada rasa hangat yang muncul tiap kali memikirkan hal lain — ide yang selalu kutunda, hobi yang ingin kucoba, atau sekadar perasaan lelah yang tak bisa dijelaskan. Suasana di apartemen kecilku sunyi, hanya bunyi mobil lewat dan kipas angin yang berputar pelan. Aku tertawa kecil ketika melihat noda kopi di kemeja kerja; reaksi kecil itu seperti pengingat bahwa aku manusia, bukan mesin produktivitas tanpa hati.

Apa yang Sebenarnya Kita Inginkan?

Aku sering mendapatkan pertanyaan dari sahabat: “Kerja bagus, gaji oke, kenapa masih galau?” Jawabannya sederhana tapi rumit: karena ada ruang di dalam diri yang selalu menanyakan apakah ini benar-benar untukku. Kadang aku berharap ada peta hidup yang jelas, tapi kehidupan nyata lebih terasa seperti jalan setapak di hutan — kadang rimbun, kadang terbuka, dan selalu ada batu licin yang membuatmu tergelincir. Aku ingat saat wawancara kerja terakhir; aku bisa merasakan detak jantungku di telinga, tangan berkeringat, dan di luar sana hujan turun pelan. Aku memilih kata-kata hati-hati, tapi pulang dengan perasaan campur aduk: senang, takut, bertanggung jawab, dan entah kenapa agak bersalah.

Tahu Kapan Menyerah, Tahu Kapan Bertahan

Mengambil keputusan bukan soal putih atau hitam. Ada momen dimana aku merasa karier yang kukerjakan sekarang adalah jawaban paling logis — stabil, bisa membiayai hidup, memberikan pengalaman. Lalu ada hari lain dimana hatiku memanggil untuk mencoba hal baru, menulis lebih banyak, atau mungkin memulai bisnis kecil yang sudah kunanti sejak lama. Aku belajar dari kesalahan: pernah kumengorbankan kesehatan demi deadline yang tak berujung, sampai aku harus izin sakit beberapa hari. Setelah itu, aku lebih sering bertanya kepada diri sendiri, “Apakah pilihan ini merawatku atau menghabiskanku?”

Pertanyaan itu penting karena kadang kita mengira bertahan adalah bukti tanggung jawab, padahal melepaskan juga bisa jadi bentuk tanggung jawab pada diri sendiri. Di sinilah aku menimbang antara rasa bersalah dan rasa lega — dua emosi yang sering muncul berbarengan seperti teman lama yang tidak akur tapi selalu datang bersama.

Langkah Kecil sebagai Janji

Aku mulai mengubah kebiasaan kecil. Setiap pagi aku menulis tiga hal yang ingin kulakukan hari itu, tapi bukan hanya tugas kerja — juga hal kecil untuk hati, seperti berjalan 15 menit, membaca satu bab buku, atau menelepon ibu. Perlahan, daftar itu menjadi pengingat lembut bahwa hidup tidak hanya tentang performa. Aku juga sengaja menyisakan satu jam di akhir pekan untuk hal-hal yang membuat mataku berbinar — kadang menulis catatan kecil di blog, kadang mencoba resep baru yang selalu membuatku gagal lucu pertama kali (saking malasnya mengukurnya).

Di tengah kebingungan ini aku menemukan situs dan tulisan orang-orang yang jujur tentang proses mereka — ada yang memilih berganti karier, ada yang memilih bertahan dan memoles keseharian agar lebih bermakna. Salah satu tempat yang sering kugunjungi saat butuh inspirasi adalah diahrosanti, di mana suara-suara perempuan biasa seperti aku berbagi cerita, gagal, dan bangkit lagi dengan cara yang sederhana tapi mengena.

Apa Selanjutnya?

Aku tidak punya jawaban pasti. Mungkin itu yang membuat perjalanan ini indah sekaligus menakutkan. Yang bisa kulakukan adalah terus belajar membaca bahasa hatiku sendiri, memperlambat ketika perlu, dan berani melangkah ketika waktunya tiba. Kadang langkah itu kecil dan konyol — seperti mengirim email lamaran untuk sesuatu yang kuanggap “di luar standar” atau mendaftar workshop akhir pekan hanya karena penasaran. Reaksinya? Biasanya aku canggung dan tertawa sendiri setelah mengirim, tapi itulah tanda aku hidup.

Untuk kamu yang sedang berada di persimpangan pilihan kerja dan hati: jangan terlalu keras pada dirimu. Perjalanan setiap orang berbeda. Kita boleh ragu, boleh salah, dan boleh berubah pikiran. Yang penting, jangan lupa menulis daftar kecil itu, nikmati kopi yang mungkin gosong, dan biarkan hati berbicara meskipun suaranya kadang lirih. Suatu hari, dari kumpulan langkah kecil itu, kita akan bangun dan menyadari bahwa pilihan terbaik bukan selalu paling gemilang di luar — tapi paling selaras dengan kita di dalam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *